Friday, May 11, 2012

Semua Ingin Adem Ayem; Ratusan Massa Gelar Aksi Damai

JOGJA - Rentetan tindakan kekerasan di Jogja beberapa hari lalu memancing reaksi banyak elemen. Kemarin (11/5) ratusan massa dari elemen keagamaan, seniman, LSM, organisasi mahasiswa, dan pro penetapan melakukan aksi untuk Jogja Damai. Mereka mengatasnamakan Gerakan Jogja Anti Kekerasan (Gerayak).
Aksi damai tersebut dalam bentuk mimbar bebas di titik nol kilometer. Intinya, mengutuk tindakan kekerasan yang dilakukan minoritas masyarakat. Juga menginginkan Jogja damai dan adem ayem.
Dalam siaran persnya, Gerayak menuntut agar polisi mengusut tuntas pelaku kekerasan di LKiS beberapa hari lalu. Pihaknya pun meminta pembubaran Majelis Mujahidin Indonesia serta ormas pro kekerasan lain. Aparat diminta bertindak tegas dan memberikan perlindungan kepada masyarakat, bukan memberi dukungan kepada organisasi yang selama ini kerap melakukan pemaksaan dan kekerasan.
Koordinator Umum Gerayak Muhammad Imam Aziz menyatakan, aksi ini adalah gerakan budaya. Sedangkan proses hukum atas penyerangan di LKiS tetap jalan terus. Dimintanya, ingin masyarakat bisa menerima perbedaan dengan indah. ”Jogja harus indah, Jogja harus damai,” seru Imam Aziz yang juga ketua PBNU ini.
Ia menginginkan kasus penyerangan diskusi seperti terjadi di LKiS tidak terulang lagi. Kelompok pro kekerasan sebenarnya hanya minoritas, sedangkan mayoritas masyarakat Jogja cinta damai.
”Perwakilan yang datang ke aksi ini, ingin menunjukkan bahwa masyarakat mayoritas cinta jogja damai,” paparnya.
Dirinya juga menyesalkan pelarangan diskusi buku Irshad Manji di UGM. Sebab, kampus adalah ruang diskusi. ”Kampus saja sudah ditekan, itu membahayakan. Apalagi tempatnya di Jogja. Kita malu,” tegasnya.
Ketua Forum Persaudaraan Umat Beriman (FPUB) DIJ Abdul Muhaimin menyesalkan tindakan kekerasan yang dilakukan MMI di LKiS. Ia mengaku tidak setuju dengan pemikiran Irshad Manji, namun ketidaksetujuan tidak seharusnya dilampiaskan dengan kekerasan. ”Mereka yang melakukan kekerasan itu minoritas kok,” lanjutnya.
Muhaimin menilai, polisi lambat menangani tindakan kekerasan. Sebelumnya Banser mendatangi Polda untuk meminta polisi menangkap pelaku kekerasan maksimal 3x24 jam. ”Tidak perlu 3 x 24 jam. Sebenarnya polisi sudah tahu, tapi kok ya masih lambat,” ujar dia.
Terpisah, budayawan Ahmad Charis Zubair melihat rentetan kekerasan yang terjadi bukan lagi sebuah hal wajar. ”Masyarakat sedang dalam kondisi sakit. Butuh penanganan serius,” tegas Ketua Dinas Kebudayaan Kota Jogja ini kepada Radar Jogja.
Dalam analisisnya, kasus kekerasan saat ini merupakan fenomena global. Karena itulah membutuhkan penanganan serius dari semua pihak, agar tak terulang kembali. ”Ada yang salah dalam hubungan bersosial kita,” keluhnya.
Ia mengajak seluruh masyarakat untuk duduk bersama menguraikan ujung pangkal kekerasan. Karena, menurutnya, pasti ada penyebabnya. Ini harus diuraikan semua pihak. Apalagi, menyangkut ketenteraman dan kenyamanan hidup.
Pegiat cagar budaya di Kotagede ini mengutarakan, permasalahan yang terjadi bukan sekadar kekerasan berlabel ajaran agama. Charis menduga, hal tersebut hanya sebab atas persoalan sosial saat ini. Makanya, butuh perhatian semua pihak agar kasus serupa tak terulang kembali di kemudian hari dan di tempat yang lain.
”Bukan hanya pemerintah yang berkewajiban. Semua pihak harus turun tangan menyelesaikan kasus seperti ini,” ajaknya.
Selain menyoroti kondisi sosial kemasyarakatan, Charis berpendapat soal langkah ke depan. Penegakkan hukum terhadap pelaku kekerasan harus dilakukan untuk memberi efek jera. ”Pendidikan bukan hanya mencerdaskan tata bersosial masyarakat,” pintanya.
Sebelumnya, Wali Kota Haryadi Suyuti mengajak, semua pihak saling berkomunikasi. ”Saya harapkan, semua pihak bersedia untuk berdialog. Dengan berdialog, maksud dan tujuan bisa dimengerti. Bukan saling menyalahkan dan membenarkan,” tegasnya.
Untuk itulah, bapak dua anak ini memiliki gagasan menggandeng seluruh pihak. Balai kota akan dijadikan tempat bertemu dan berkomunikasi antarormas. ”Persoalan komunikasi antarpihak ini sangat penting,” imbuhnya.
Terhadap masalah perbedaan yang berpotensi terjadi kerusuhan, Haryadi memang memiliki pengalaman. Usai dilantik menjadi orang nomer satu di pemkot Jogja, Haryadi pernah memfasilitasi dialog antara Ahmadiyah Lahore dengan ormas Islam. Hasilnya, terjadi beberapa kesepakatan, sehingga tak sampai berdampak kerusuhan.
Sedangkan mahasiswa Fakultas Ekonomi UGM Dian Paramita juda menyayangkan pembungkaman kebebasan berbicara di kampusnya. Pihak yang tidak sepakat dengan satu pemikiran, harusnya juga melawan dengan pemikiran, bukan kekerasan.
”Kami minta polisi melindungi masyarakat dan mengusut tuntas kekerasan ini,” ujar mahasiswa yang vokal pada kebebasan bicara di twitter ini. (eri/hed/tya)

No comments: