JOGJA
- Rentetan tindakan kekerasan di Jogja beberapa hari lalu memancing reaksi banyak
elemen. Kemarin (11/5) ratusan massa dari elemen keagamaan, seniman, LSM,
organisasi mahasiswa, dan pro penetapan melakukan aksi untuk Jogja Damai.
Mereka mengatasnamakan Gerakan Jogja Anti Kekerasan (Gerayak).
Aksi
damai tersebut dalam bentuk mimbar bebas di titik nol kilometer. Intinya,
mengutuk tindakan kekerasan yang dilakukan minoritas masyarakat. Juga menginginkan
Jogja damai dan adem ayem.
Dalam
siaran persnya, Gerayak menuntut agar polisi mengusut tuntas pelaku kekerasan
di LKiS beberapa hari lalu. Pihaknya pun meminta pembubaran Majelis Mujahidin
Indonesia serta ormas pro kekerasan lain. Aparat diminta bertindak tegas dan
memberikan perlindungan kepada masyarakat, bukan memberi dukungan kepada
organisasi yang selama ini kerap melakukan pemaksaan dan kekerasan.
Koordinator
Umum Gerayak Muhammad Imam Aziz menyatakan, aksi ini adalah gerakan budaya.
Sedangkan proses hukum atas penyerangan di LKiS tetap jalan terus. Dimintanya, ingin
masyarakat bisa menerima perbedaan dengan indah. ”Jogja harus indah, Jogja
harus damai,” seru Imam Aziz yang juga ketua PBNU ini.
Ia
menginginkan kasus penyerangan diskusi seperti terjadi di LKiS tidak terulang
lagi. Kelompok pro kekerasan sebenarnya hanya minoritas, sedangkan mayoritas
masyarakat Jogja cinta damai.
”Perwakilan
yang datang ke aksi ini, ingin menunjukkan bahwa masyarakat mayoritas cinta
jogja damai,” paparnya.
Dirinya
juga menyesalkan pelarangan diskusi buku Irshad Manji di UGM. Sebab, kampus
adalah ruang diskusi. ”Kampus saja sudah ditekan, itu membahayakan. Apalagi
tempatnya di Jogja. Kita malu,” tegasnya.
Ketua
Forum Persaudaraan Umat Beriman (FPUB) DIJ Abdul Muhaimin menyesalkan tindakan
kekerasan yang dilakukan MMI di LKiS. Ia mengaku tidak setuju dengan pemikiran
Irshad Manji, namun ketidaksetujuan tidak seharusnya dilampiaskan dengan
kekerasan. ”Mereka yang melakukan kekerasan itu minoritas kok,” lanjutnya.
Muhaimin
menilai, polisi lambat menangani tindakan kekerasan. Sebelumnya Banser mendatangi
Polda untuk meminta polisi menangkap pelaku kekerasan maksimal 3x24 jam. ”Tidak
perlu 3 x 24 jam. Sebenarnya polisi sudah tahu, tapi kok ya masih lambat,”
ujar dia.
Terpisah,
budayawan Ahmad Charis Zubair melihat rentetan kekerasan yang terjadi bukan
lagi sebuah hal wajar. ”Masyarakat sedang dalam kondisi sakit. Butuh penanganan
serius,” tegas Ketua Dinas Kebudayaan Kota Jogja ini kepada Radar Jogja.
Dalam
analisisnya, kasus kekerasan saat ini merupakan fenomena global. Karena itulah
membutuhkan penanganan serius dari semua pihak, agar tak terulang kembali. ”Ada
yang salah dalam hubungan bersosial kita,” keluhnya.
Ia
mengajak seluruh masyarakat untuk duduk bersama menguraikan ujung pangkal kekerasan.
Karena, menurutnya, pasti ada penyebabnya. Ini harus diuraikan semua pihak.
Apalagi, menyangkut ketenteraman dan kenyamanan hidup.
Pegiat
cagar budaya di Kotagede ini mengutarakan, permasalahan yang terjadi bukan sekadar
kekerasan berlabel ajaran agama. Charis menduga, hal tersebut hanya sebab atas
persoalan sosial saat ini. Makanya, butuh perhatian semua pihak agar kasus
serupa tak terulang kembali di kemudian hari dan di tempat yang lain.
”Bukan
hanya pemerintah yang berkewajiban. Semua pihak harus turun tangan
menyelesaikan kasus seperti ini,” ajaknya.
Selain
menyoroti kondisi sosial kemasyarakatan, Charis berpendapat soal langkah ke
depan. Penegakkan hukum terhadap pelaku kekerasan harus dilakukan untuk memberi
efek jera. ”Pendidikan bukan hanya mencerdaskan tata bersosial masyarakat,”
pintanya.
Sebelumnya,
Wali Kota Haryadi Suyuti mengajak, semua pihak saling berkomunikasi. ”Saya
harapkan, semua pihak bersedia untuk berdialog. Dengan berdialog, maksud dan
tujuan bisa dimengerti. Bukan saling menyalahkan dan membenarkan,” tegasnya.
Untuk
itulah, bapak dua anak ini memiliki gagasan menggandeng seluruh pihak. Balai
kota akan dijadikan tempat bertemu dan berkomunikasi antarormas. ”Persoalan
komunikasi antarpihak ini sangat penting,” imbuhnya.
Terhadap
masalah perbedaan yang berpotensi terjadi kerusuhan, Haryadi memang memiliki
pengalaman. Usai dilantik menjadi orang nomer satu di pemkot Jogja, Haryadi
pernah memfasilitasi dialog antara Ahmadiyah Lahore dengan ormas Islam. Hasilnya,
terjadi beberapa kesepakatan, sehingga tak sampai berdampak kerusuhan.
Sedangkan
mahasiswa Fakultas Ekonomi UGM Dian Paramita juda menyayangkan pembungkaman
kebebasan berbicara di kampusnya. Pihak yang tidak sepakat dengan satu
pemikiran, harusnya juga melawan dengan pemikiran, bukan kekerasan.
”Kami
minta polisi melindungi masyarakat dan mengusut tuntas kekerasan ini,” ujar
mahasiswa yang vokal pada kebebasan bicara di twitter ini. (eri/hed/tya)
No comments:
Post a Comment