Friday, May 11, 2012

Fairuz Ahmad, Ketua GP Anshor yang Juga Wirausahawan

Atasi Kekerasan dengan Cooling Down dan Duduk Bersama

Sikap bijak dan dingin harus dilakukan untuk menyikapi aksi kekerasan yang terjadi beberapa hari lalu. Satu di antara yang bisa melakukan seperti itu adalah Fairuz Ahmad, ketua Gerakan Pemuda (GP) Anshor DIJ.

Sandhy Aditya, Jogjakarta

SELAMA ini dikenal sebagai kota berhati nyaman dan selalu cinta damai, namun belakangan Jogjakarta dikeruhkan oleh aksi kekerasan. Menurut Fairuz yang sejak 1961 menjadi anggota Anshor, hal tersebut seharusnya tidak perlu terjadi di negara Pancasila, Republik Indonesia.
”Ini dapat disikapi dengan baik bila kita bisa berpikir jernih dan melihat jauh ke depan,” katanya ketika ditemui Radar Jogja di rumahnya kemarin (11/5).
Pria yang juga pernah menjadi anggota DPRD Sleman ini menilai, fenomena yang terjadi akhir-akhir ini menunjukkan adanya pergeseran prinsip-prinsip berbangsa dan bernegara. Sikap dan perilaku negative menjadi bukti bahwa landasan berbangsa dan bernegara belum ditegakkan dalam lingkup NKRI.
”Sebagai umat beragama, seharusnya kita semua cooling down dan duduk bersama untuk menyatukan ide, agar tidak terjadi kekerasan kembali di Indonesia ini,” ujar pria lulusan Jurusan Tafsir Hadits Fakultas Ushuluddin Jurusan Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Jogjakarta pada 1996.
Ketua GP Anshor DIJ yang juga wirausaha ”Tani Maju” tersebut sangat menghargai perbedaan ormas-ormas. Namun, harus dibarengi dengan konsepsi. Sehingga, ruang dialog serta penyikapan secara bijak bisa lebih didahulukan dari pada bentuk-bentuk ancaman dan kekerasan.
”Tindakan kekerasan sebenarnya hanya akan membuat masalah menjadi besar dan muncul masalah baru. Sementara substansi masalah yang sebenarnya tidak terselesaikan,” ungkap pria yang kini mempunyai tiga pondok pesantren, yaitu PP Kulliyatul Islam Jonggrangan, PP Darunnajah Kutu Tegal, dan PP Bina Putera Al-Amin.
Menurutnya, kegiatan yang dilakukan di LKiS (Lembaga Kajian Islam Sosial) hanyalah diskusi buku seperti biasa dilakukan. Mungkin, tema yang diambil dalam buku itulah yang memancing sebagian orang untuk menolaknya.
”GP Anshor tidak dalam kapasitas berbicara soal buku tersebut. Pihak kami menghargai perbedaan pemahaman maupun perbedaan yang menyangkut substansi lain,” imbuh pria yang kini tinggal di Kutu Tegal, Sinduadi, Mlati, Sleman.
Ia juga menyayangkan adanya sikap berlebihan yang ditunjukkan ormas lain dalam menyikapi perbedaan pandangan. ”Sekali lagi, saya tidak ingin menyinggung buku itu. Tiap orang mempunyai penilaian sendiri, yang tentu berbeda antara satu dengan yang lain. Hanya, disayangkan jika perbedaan penilaian kemudian memicu tindakan perusakan secara fisik dan pemukulan terhadap beberapa orang,” tambahnya.
Menurutnya, jika ingin menyampaikan perbedaan pendapat, diusahakan tanpa kekerasan, apalagi sampai mencederai orang lain. Itu pula yang selalu ia ingatkan kepada sejumlah anggota Banser.
”Di Jogjakarta ini ada banyak suku, budaya, dan ras. Kita harus pandai-pandai menyikapi setiap perbedaan yang pasti ada,” ujarnya.
Pria yang pernah menjabat Ketua PAC GP Anshor Kecamatan Mlati ini mengungkapkan, amar makruf nahi munkar memang harus ditegakkan, namun dengan cara yang baik. ”Yang namanya mengajak orang berbuat baik, seyogyanya dilakukan dengan cara baik. Kalau mengajak orang berbuat baik dengan cara tidak baik, itu sudah berlawanan dengan konsep nahi munkar sendiri,” lanjutnya.
Menanggapi kekerasan yang dilakukan ormas lain, Fairuz menyatakan tidak mempunyai kapasitas untuk mengadili atau mendorong kepolisian menuntut pelaku. ”Bentuk perusakan itu sudah menjadi domain polisi. Tanpa aduan pun, mereka sudah mempunyai bukti tentang tindakan tersebut,” tandasnya. (*/tya)

No comments: