Atasi Kekerasan dengan Cooling Down
dan Duduk Bersama
Sikap bijak dan dingin harus
dilakukan untuk menyikapi aksi kekerasan yang terjadi beberapa hari lalu. Satu
di antara yang bisa melakukan seperti itu adalah Fairuz Ahmad, ketua Gerakan
Pemuda (GP) Anshor DIJ.
Sandhy Aditya, Jogjakarta
SELAMA ini dikenal sebagai kota berhati
nyaman dan selalu cinta damai, namun belakangan Jogjakarta dikeruhkan oleh aksi
kekerasan. Menurut Fairuz yang sejak 1961 menjadi anggota Anshor, hal tersebut seharusnya
tidak perlu terjadi di negara Pancasila, Republik Indonesia.
”Ini dapat disikapi dengan baik
bila kita bisa berpikir jernih dan melihat jauh ke depan,” katanya ketika
ditemui Radar Jogja di rumahnya kemarin (11/5).
Pria yang juga pernah menjadi anggota
DPRD Sleman ini menilai, fenomena yang terjadi akhir-akhir ini menunjukkan adanya
pergeseran prinsip-prinsip berbangsa dan bernegara. Sikap dan perilaku negative
menjadi bukti bahwa landasan berbangsa dan bernegara belum ditegakkan dalam
lingkup NKRI.
”Sebagai umat beragama, seharusnya kita
semua cooling down dan duduk bersama untuk menyatukan ide, agar tidak terjadi
kekerasan kembali di Indonesia ini,” ujar pria lulusan Jurusan Tafsir Hadits
Fakultas Ushuluddin Jurusan Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Jogjakarta
pada 1996.
Ketua GP Anshor DIJ yang juga wirausaha
”Tani Maju” tersebut sangat menghargai perbedaan ormas-ormas. Namun, harus
dibarengi dengan konsepsi. Sehingga, ruang dialog serta penyikapan secara bijak
bisa lebih didahulukan dari pada bentuk-bentuk ancaman dan kekerasan.
”Tindakan kekerasan sebenarnya
hanya akan membuat masalah menjadi besar dan muncul masalah baru. Sementara
substansi masalah yang sebenarnya tidak terselesaikan,” ungkap pria yang kini
mempunyai tiga pondok pesantren, yaitu PP Kulliyatul Islam Jonggrangan, PP
Darunnajah Kutu Tegal, dan PP Bina Putera Al-Amin.
Menurutnya, kegiatan yang dilakukan
di LKiS (Lembaga Kajian Islam Sosial) hanyalah diskusi buku seperti biasa dilakukan.
Mungkin, tema yang diambil dalam buku itulah yang memancing sebagian orang
untuk menolaknya.
”GP Anshor tidak dalam kapasitas
berbicara soal buku tersebut. Pihak kami menghargai perbedaan pemahaman maupun
perbedaan yang menyangkut substansi lain,” imbuh pria yang kini tinggal di Kutu
Tegal, Sinduadi, Mlati, Sleman.
Ia juga menyayangkan adanya sikap
berlebihan yang ditunjukkan ormas lain dalam menyikapi perbedaan pandangan. ”Sekali
lagi, saya tidak ingin menyinggung buku itu. Tiap orang mempunyai penilaian
sendiri, yang tentu berbeda antara satu dengan yang lain. Hanya, disayangkan jika
perbedaan penilaian kemudian memicu tindakan perusakan secara fisik dan
pemukulan terhadap beberapa orang,” tambahnya.
Menurutnya, jika ingin menyampaikan
perbedaan pendapat, diusahakan tanpa kekerasan, apalagi sampai mencederai orang
lain. Itu pula yang selalu ia ingatkan kepada sejumlah anggota Banser.
”Di Jogjakarta ini ada banyak suku,
budaya, dan ras. Kita harus pandai-pandai menyikapi setiap perbedaan yang pasti
ada,” ujarnya.
Pria yang pernah menjabat Ketua PAC
GP Anshor Kecamatan Mlati ini mengungkapkan, amar makruf nahi munkar
memang harus ditegakkan, namun dengan cara yang baik. ”Yang namanya mengajak
orang berbuat baik, seyogyanya dilakukan dengan cara baik. Kalau mengajak orang
berbuat baik dengan cara tidak baik, itu sudah berlawanan dengan konsep nahi
munkar sendiri,” lanjutnya.
Menanggapi kekerasan yang dilakukan
ormas lain, Fairuz menyatakan tidak mempunyai kapasitas untuk mengadili atau
mendorong kepolisian menuntut pelaku. ”Bentuk perusakan itu sudah menjadi
domain polisi. Tanpa aduan pun, mereka sudah mempunyai bukti tentang tindakan
tersebut,” tandasnya. (*/tya)
No comments:
Post a Comment