BUDAYA
masyarakat yang mematuhi titah Raja Ngayogyakarta menjadi kunci penting dalam
menciptakan Jogja tetap aman. Cara ini dipandang lebih ampuh ketimbang harus
menunggu aksi pemerintah daerah yang biasanya terpasung jalur birokrasi.
Staf
pengajar Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Universitas Gadjah Mada Dr. Aprinus Salam
mengatakan, saat ini masyarakat tengah menghadapi ketegangan sosial akibat
pertumbuhan ekonomi yang kurang bisa diakses masyarakat. Di sisi lain,
kebijakan pemerintah termasuk pemerintah daerah, dianggap kurang tanggap dan
berpihak kepada masyarakat.
”Memang
terkesan tidak ada jalan keluar. Tapi di Jogjakarta, kasultanan masih memiliki
kharisma dan otoritas tertentu yang dijunjung tinggi,” katanya kepada Radar
Jogja Jumat (11/5).
Dia
menilai, kekerasan masih menghadapi ”cuaca mendung” karena kuatnya kharisma kasultanan
di Jogjakarta. Hal ini menjadikan masyarakat segan melakukan tindak kekerasan.
”Tentu
kita memilih kenyamanan lewat hierarki tertentu ketimbang demokrasi bebas tapi
tiap hari berantem,” tuturnya.
Aprianus
mensinyalir ada upaya dari kelompok tertentu yang sengaja menciptakan kekerasan
di Jogjakarta. Salah satu penyebabnya bisa dimungkinkan karena ketidakpuasan
terhadap keinginan masyarakat terkait penetapan keistimewaan.
Dia
juga menyebut penyerangan diskusi di LKiS tidak bisa terjadi bila tidak ada backing
dari oknum tertentu. Oleh karena itu, salah satu yang bisa dilakukan Kasultanan,
dalam hal ini Sultan Hamengku Buwono X, adalah segera turun langsung meredakan
ketegangan.
”Sultan
harus membuat statemen yang lebih keras agar suasana damai tetap tercipta di
Jogja,” tuturnya.
Dia
juga mengajak semua pihak untuk terus memobilisasi dan mereproduksi kharisma kasultanan
agar menjaga keseganan masyarakat untuk menciptakan kekerasan. Selain itu,
upaya Sultan menciptakan kedamaian harus didukung penuh.
”Kalau
tidak didukung, bukan hanya orang tidak segan lagi kepada Sultan, tapi
kenyamanan Jogja akan goyah,” ingatnya. (sit/tya)
No comments:
Post a Comment