JOGJA
- Konversi lahan pertanian ke non pertanian, khususnya pemukiman di pinggiran
kota Jogja, meningkat tajam. Akibatnya ekosistem lingkungan di DIJ menjadi
rusak karena lahan pertanian semakin berkurang.
Staf
pengajar Jurusan Teknik Arsitektur dan Perencanaan Fakultas Teknik UGM, T.
Yoyok Subroto, mengatakan bahwa perubahan lahan pertanian ke non pertanian
paling banyak ada di Bantul dan Sleman. Harga lahan di dua wilayah tersebut
sangat tinggi namun berbanding terbalik bila dilihat dari sisi lingkungan.
”Banyak
petani yang memilih untuk melepas lahan sawahnya karena harganya tinggi,” ujarnya
saat menjelaskan pergelaran Festival Kota Gadjah Mada (Festagama) 2012, Jumat
(11/5).
Dia
melihat, konversi lahan pertanian dilakukan secara sistemik oleh pengembang
pemukiman. Pihak developer menggunakan sistem jumping frog, yaitu
membangun pemukiman dengan meloncati areal persawahan yang lain.
”Sawah
yang ada di tengah akhirnya terkepung, dan saluran irigasinya juga terpotong
karena pembangunan pemukiman tersebut. Akhirnya petani menjual lahan karena
sawahnya mengalami kekeringan,” bebernya.
Dia
mengingatkan, Sri Sultan HB IX membangun Selokan Mataram yang salah satunya
difungsikan untuk pengairan sawah. Namun dengan adanya pembangunan pemukiman
yang pesat di sekitar kawasan Sleman, maka selokan tersebut tidak dapat
difungsikan secara maksimal untuk pengairan sawah yang kian sempit.
Berdasarkan
hasil penelitian, dari sekitar 2,5 hektar lahan persawahan, para petani hanya
mampu menghasilkan sekitar 600 ribu gabah kering dalam satu kali panen.
Padahal, pajak bumi dan bangunan (PBB) makin tinggi seiring naiknya harga tanah
untuk pemukiman. ”Petani akhirnya memilih jadi buruh tani,” katanya.
Pemerintah
daerah sebenarnya sudah memiliki perangkat aturan untuk mencegah pengalihan
lahan pertanian menjadi non pertanian. Hanya saja, pemda terkadang tidak
konsisten dengan aturan yang dibuatnya sendiri karena persoalan tata kota yang
semakin pelik terutama di Kota Jogja.
”Persoalan
ini harus ditangani tidak hanya dari kepentingan ekonomi, namun juga sosiologis
dan kcultural, karena DIJ bisa menjadi kota yang tidak nyaman ditinggali,”
tuturnya.
Festagama
yang digelar 12-25 Mei menjadi salah satu ajang mengajak masyarakat menciptakan
sebuah tata kota yang sehat. Ketua Panitia Festagama, Wildan mengatakan,
festival ini akan menyosialisasikan kota sebagai ruang nyaman dan efektif dalam
segala kegiatan warganya.
”Kami
harapkan warga bisa dan mau peduli dengan isu tata kota sebagai ruang gerak
masyarakat,” katanya. (sit/tya)
No comments:
Post a Comment