Friday, May 11, 2012

Konversi Lahan Pertanian Rusak Ekosistem

JOGJA - Konversi lahan pertanian ke non pertanian, khususnya pemukiman di pinggiran kota Jogja, meningkat tajam. Akibatnya ekosistem lingkungan di DIJ menjadi rusak karena lahan pertanian semakin berkurang.
Staf pengajar Jurusan Teknik Arsitektur dan Perencanaan Fakultas Teknik UGM, T. Yoyok Subroto, mengatakan bahwa perubahan lahan pertanian ke non pertanian paling banyak ada di Bantul dan Sleman. Harga lahan di dua wilayah tersebut sangat tinggi namun berbanding terbalik bila dilihat dari sisi lingkungan.
”Banyak petani yang memilih untuk melepas lahan sawahnya karena harganya tinggi,” ujarnya saat menjelaskan pergelaran Festival Kota Gadjah Mada (Festagama) 2012, Jumat (11/5).
Dia melihat, konversi lahan pertanian dilakukan secara sistemik oleh pengembang pemukiman. Pihak developer menggunakan sistem jumping frog, yaitu membangun pemukiman dengan meloncati areal persawahan yang lain.
”Sawah yang ada di tengah akhirnya terkepung, dan saluran irigasinya juga terpotong karena pembangunan pemukiman tersebut. Akhirnya petani menjual lahan karena sawahnya mengalami kekeringan,” bebernya.
Dia mengingatkan, Sri Sultan HB IX membangun Selokan Mataram yang salah satunya difungsikan untuk pengairan sawah. Namun dengan adanya pembangunan pemukiman yang pesat di sekitar kawasan Sleman, maka selokan tersebut tidak dapat difungsikan secara maksimal untuk pengairan sawah yang kian sempit.
Berdasarkan hasil penelitian, dari sekitar 2,5 hektar lahan persawahan, para petani hanya mampu menghasilkan sekitar 600 ribu gabah kering dalam satu kali panen. Padahal, pajak bumi dan bangunan (PBB) makin tinggi seiring naiknya harga tanah untuk pemukiman. ”Petani akhirnya memilih jadi buruh tani,” katanya.  
Pemerintah daerah sebenarnya sudah memiliki perangkat aturan untuk mencegah pengalihan lahan pertanian menjadi non pertanian. Hanya saja, pemda terkadang tidak konsisten dengan aturan yang dibuatnya sendiri karena persoalan tata kota yang semakin pelik terutama di Kota Jogja.
”Persoalan ini harus ditangani tidak hanya dari kepentingan ekonomi, namun juga sosiologis dan kcultural, karena DIJ bisa menjadi kota yang tidak nyaman ditinggali,” tuturnya.  
Festagama yang digelar 12-25 Mei menjadi salah satu ajang mengajak masyarakat menciptakan sebuah tata kota yang sehat. Ketua Panitia Festagama, Wildan mengatakan, festival ini akan menyosialisasikan kota sebagai ruang nyaman dan efektif dalam segala kegiatan warganya.
”Kami harapkan warga bisa dan mau peduli dengan isu tata kota sebagai ruang gerak masyarakat,” katanya. (sit/tya) 

No comments: